ANALISAKALTIM.COM – Sejak pergantian era Orde Baru menjadi era Reformasi, Indonesia memasuki fase demokrasi atau pemilihan umum langsung. Ini menjadi salah satu pilar bangsa untuk terus ditegakkan demi menjaga negara agar selalu berkembang dan maju, baik itu di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Supaya selalu seiring dengan kepentingan rakyat, bukan kepentingan dan kehendak segelintir kelompok kepentingan, yakni para pemodal kapitalis dan oligarki.
Selain itu, demokrasi adalah instrumen atau cara paling efektif dalam mengontrol pemerintah. Sebab, sesuai dengan adagium yang dicetuskan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah pemerintah yang oleh, dari, dan untuk rakyat. Kemudian diperkuat oleh Sutan Sjahrir bahwa nilai demokrasi adalah yang menyanjung nilai-nilai kemanusiaan, sehingga kepemimpinan yang terpilih dalam bernegara terhindar dari sikap yang suka menindas dan tidak adil kepada rakyatnya.
Akan tetapi, hal tersebut masih jauh panggang dari api, karena masih tingginya kasus pelanggaran pemilu, dan yang selalu menjadi perhatian utama adalah praktik politik uang (money politics/buying voters), karena tindakan politik uang inilah yang menyebabkan rendahnya kualitas demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengutip artikel yang ditulis Burhanudin Muhtadi pada laman KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang menjelaskan tingginya tingkat politik uang di Indonesia pada Pemilu 2019 dengan persentase di kisaran 19,4%-33,1%, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara ranking 3 di dunia untuk praktik politik uang.
Tentu ini hal yang sangat memalukan dan merendahkan kualitas demokrasi Indonesia di mata dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa model penyelenggaraan dan kepengawasan pemilu saat ini masih bersifat sangat normatif, barometer ini bisa dilihat dari indeks angka politik uang di Indonesia yang sangat tinggi. Bahkan berada di peringkat tiga dunia.
Menurut catatan Burhanudin Muhtadi, ada 62 juta (33%) pemilih pernah ditawari politik uang, tentu ranking tersebut sangat miris dan menyedihkan karena membuat Indonesia secara demokrasi sejajar dengan negara-negara miskin di Afrika seperti Uganda dan Benin.
Politik Patronase dan Klientisme
Jan H Pierskalla, doktor ilmu politik dari Ohio State University dan murid dari Indonesianis terkenal Profesor William Liddle pernah meneliti dan mengupas praktik politik lingkaran patronase dan klientisme yang terjadi pada pemilu lokal di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Menurut Jan, praktik patronase dan klientisme ini sangat merusak nilai-nilai demokrasi.
Patronase didefinisikan sebagai bentuk dukungan atau dorongan berupa hak istimewa atau bantuan keuangan yang diberikan oleh suatu kelompok dan individu kepada pihak atau individu lain. Adapun definisi dari klientisme adalah bentuk relasi kuasa antar-aktor politik yang memberikan sesuatu kepada (patron) non-programatik dengan pihak yang menerima (klien) didasari pemberian loyalitas dari penerima secara paternalistik (otoriter).
Memanfaatkan eksperimen alami dari konteks Indonesia, didapatkan temuan bahwa beberapa partai politik di Indonesia merupakan lokus utama kekuasaan klientelistik, kasus di Indonesia tampaknya menunjukkan bahwa kontrol elite atas birokrasi lokal jauh lebih penting untuk melembagakan struktur klientisme.
Kemudian ditemukan tidak ada efek yang jelas dari akuntabilitas pemilu terhadap hasil pembangunan manusia di Indonesia dan adanya distorsi patronase serta siklus anggaran, uang menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pemilihan kepala daerah dalam meningkatkan hubungan akuntabilitas tanpa syarat atau janji politik.
Selain itu, muncul isu dan debat akademik tentang korupsi, politik uang, dan kolusi elite telah memberikan gambaran yang cukup suram bagi akuntabilitas pemilu di Indonesia. Dengan bukti adanya distorsi kebijakan terkait pemilu dan menyoroti pentingnya birokrasi lokal sebagai alat untuk politik klientelistik.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya reformasi harus fokus mewujudkan kondisi kala peserta pemilu dapat menghasilkan hubungan akuntabilitas yang didasari pada hal yang sifatnya meritoktaris dan programatik antara pemilih dan kandidat atau perwakilan politik di eksekutif maupun legislatif.
Meneropong Demokrasi ke Depan
Di Indonesia, William Liddle (2009) berpendapat bahwa sistem politik Indonesia yang mengadopsi demokrasi berada dalam masa naif, karena semua orang menghargai demokrasi tetapi tidak mau terlalu banyak mengkritik pemerintah, dan partai politik tidak pernah menjaga akuntabilitas dan kredibilitas kepada pemilih, atau bahkan ketika demokrasi hanya didominasi kelompok-kelompok elite kekuasaan (oligarki). Karena di akar rumput sendiri, pemilih memilih figur, bukan kualitas partai, atau bahkan karena menerima uang sogokan dari politikus nakal.
Kelemahan demokrasi Indonesia disebabkan kekuatan politik (partai dan kelompok) yang terlalu terfragmentasi, sehingga sulit mendapatkan mayoritas tunggal untuk mempertahankan pemerintahan yang stabil. Demokrasi Indonesia sangat tidak terduga dan bergejolak, terlalu prosedural daripada substansial untuk memilih pemimpin yang baik. Sistem kepartaian sangat top-down, dominasi dipegang oleh elite, bukan rakyat (bottom-up).
Karena itu, untuk memperbaiki sistem penyelenggaraan dan pengawasan pemilu Indonesia ke depan, ada beberapa hal yang harus dilakukan, Pertama adalah aspek penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, sehingga para kandidat yang menghalalkan segala cara bisa mendapatkan sanksi dan menimbulkan efek jera serta pencegahan agar ke depan tidak ada lagi kandidat pemilu yang melanggar pemilihan umum.
Kedua adalah koordinasi yang kuat dan efektif antara lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu seperti KPU dan Bawaslu, serta pihak keamanan dan penegak hukum, sehingga terjadi formulasi pengawasan yang komprehensif dan memiliki daya getar dan daya tangkal, sehingga tidak ada lagi kandidat nakal yang berani menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suara rakyat.
Ketiga adalah melibatkan aktif peran lembaga atau organisasi serta masyarakat peduli pemilihan umum, baik secara langsung maupun via media sosial, seperti adagium bahwa kejadian yang viral bisa menegakkan keadilan, maka sebaiknya peran partisipasi masyarakat juga perlu ditingkatkan, berkolaborasi dengan pihak terkait dan memviralkan jika memang terjadi pelanggaran-pelanggaran pemilu oleh oknum politikus atau kandidat tertentu, sehingga secara alami akan terjadi pencegahan dan membuat takut pihak-pihak yang ingin berbuat curang.
Keempat, yang terakhir dan sangat penting adalah penguatan independensi dan integritas internal anggota dan jajaran lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu itu sendiri, sehingga tidak mudah diintervensi, tidak mudah disogok, dan tegak lurus menegakkan aturan jika terjadi pelanggaran demi terwujudnya pesta demokrasi pemilu untuk menghasilkan kualitas kepemimpinan yang meritokrasi, bukan oligarki–kapitalis.